News

Kemenkes Tegaskan Komitmen Untuk Eliminasi HIV dan IMS Hingga Tahun 2030

Oleh Admin Kamis, 26 Juni 2025


Infokom DPP PPNI - Upaya terus dilakukan Kementerian Kesehatan bersama pihak terkait dalam menekan penyebaran penyakit menular maupun tidak menular.

Sehubungan itu Kemenkes menegaskan kembali komitmennya untuk mengeliminasi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun 2030. Edukasi, deteksi dini, dan pengobatan menjadi kunci dalam mencapai target ini, terutama mengingat tingginya beban kasus yang masih dihadapi Indonesia.

Menurut data terbaru, Indonesia menempati peringkat ke-14 dunia dalam jumlah orang dengan HIV (ODHIV) dan peringkat ke-9 untuk infeksi baru HIV. Diperkirakan terdapat sekitar 564.000 ODHIV pada tahun 2025, namun baru 63% yang mengetahui statusnya. Dari jumlah tersebut, 67% telah menjalani terapi antiretroviral (ARV), dan hanya 55% yang mencapai viral load tersupresi artinya virus tidak terdeteksi dan risiko penularan sangat rendah.

Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, dr. Ina Agustina, menyampaikan bahwa 76% kasus HIV di Indonesia terkonsentrasi di 11 provinsi prioritas, yakni: DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, Papua, Papua Tengah, Sulawesi Selatan, Banten, dan Kepulauan Riau.

“Penyebaran kasus HIV secara nasional banyak terjadi di populasi kunci seperti laki-laki seks dengan laki-laki (LSL), waria, pekerja seks perempuan, dan pengguna napza suntik. Tapi di Papua, penularan sudah menyebar ke populasi umum, dengan prevalensi mencapai 2,3%,” ungkap dr. Ina dalam temu media secara daring, Jumat (20/6/2025).

Dalam tiga tahun terakhir, positivity rate HIV cenderung stagnan, namun kasus IMS justru meningkat, termasuk di kelompok usia muda. Data Kemenkes mencatat 23.347 kasus sifilis pada tahun lalu, mayoritas merupakan sifilis dini (19.904 kasus), dan 77 di antaranya adalah sifilis kongenital, yang menular dari ibu ke bayi. Gonore juga tercatat tinggi dengan 10.506 kasus, terutama di DKI Jakarta.

“IMS bukan hanya masalah kesehatan pribadi, ini masalah kesehatan masyarakat. IMS membuka pintu bagi penularan HIV, dan kasus terbanyak terjadi di usia produktif 25-49 tahun, bahkan kini mulai meningkat pada usia remaja 15-19 tahun,” tegas dr. Ina.

Ia menambahkan, infeksi Human Papillomavirus (HPV) salah satu IMS yang dapat memicu kanker serviks masih menjadi ancaman serius bagi perempuan, khususnya jika tidak terdeteksi sejak dini.

Dr. dr. Hanny Nilasari dari Departemen Dermatologi dan Venereologi FKUI-RSCM turut menyoroti perlunya edukasi kesehatan reproduksi yang menyeluruh. Menurutnya, IMS dan infeksi saluran reproduksi (ISR) sering kali tidak bergejala, terutama pada perempuan, sehingga kerap terlambat ditangani.

Jika tidak ditangani dengan tepat, IMS bisa menyebabkan komplikasi seperti radang panggul, kehamilan ektopik, bahkan infertilitas. Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan IMS juga berisiko mengalami kematian neonatal, berat lahir rendah, atau lahir prematur.

Ia menegaskan pentingnya skrining rutin dan perilaku seksual yang aman. “Tren kejadian IMS dari tahun ke tahun terus meningkat, dan usia penderita makin muda. Sudah banyak kasus IMS maupun kehamilan tidak diinginkan pada remaja, dan ini mendorong tingginya angka aborsi,” jelas dr. Hanny.

Kemenkes terus memperluas akses layanan untuk mencapai target eliminasi HIV dan IMS. Target utama adalah mencapai 95-95-95 pada 2030, yaitu 95% ODHIV mengetahui statusnya, 95% dari mereka menjalani pengobatan, dan 95% dari yang diobati mencapai supresi virus.

Selain itu, pemerintah juga menargetkan eliminasi sifilis dan gonore hingga 90%, serta mendorong triple elimination HIV, sifilis, dan hepatitis B dari ibu ke anak. (IR)


Sumber : Berita & Foto dari Biro Komunikasi dan Informasi Publik, Kemenkes RI


Dikembangkan oleh ppnipusat.or.id - Departemen Teknologi Informasi © Copyright 2023